Dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani, berbagai macam cara yang ditempuh oleh manusia untuk mencari sesuatu yang dapat melegahkan jiwanya, mencari kemuliaan di tengah-tengah manusia. Bebagai cara dilakukan, baik dengan cara yang terhormat ataupun bukan, yang sesuai dengan tuntunan syariat ataupun bukan. Bahkan kadang tak memperdulikan nilai-nilai norma dalam agama dan masyarakat. Ketika kebutuhan jiwa terpenuhi, perasaan bahagiapun tersegarkan, kemudian merasa bangga dan mulia. Namun kadang kala kebanyakan orang melupakan hakikat dan karakteristik kemuliaan yang sebenarnya yang Allah SWT gambarkan di dalam Al-Quran.
Di antara begitu banyak nilai kemuliaan yang disampaikan di dalam Al-Quran, ada beberapa karakter yang akan khatib sampaikan pada kesempatan khutbah jumat kali ini. karakteristik pertama yang diungkapkan Al-Quran adalah: Orang-orang yang mulia yaitu mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati, tak dibuat-buat, tak pamer, tak sombong, tidak pula memalingkan pipi ketika bertemu. Karena berjalannya manusia sebagaimana halnya seluruh gerakan, adalah ungkapan dari kepribadian, dan perasaan-perasaan yang ada dalam dirinya. Sehingga jiwa yang tenang, lurus, mulia, serius dan mempunyai tujuan, akan menampilkan sifat-sifat ini dalam cara berjalan orang tersebut. Al-Quran menggambarkan:
الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا
"Yaitu orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati" (Al-Furqon: 63)
Maksud ayat ini sebagaimana penjelasan ustadz Sayid Qutb: "Bukanlah makna kalimat ini adalah bahwa mereka berjalan dengan gontai, kepala tertunduk, lemah dan lesuh, seperti dipahami sebagian orang yang ingin menampilkan ketakwan dan kesholihah. Rosulullah sendiri jika berjalan maka beliau berjalan dengan tegap. Beliau adalah orang yang paling cepat berjalan, paling baik jalannya, dan paling tenang."
Abu Hurairoh berkata: "Saya tak melihat sesuatu yang lebih indah dari Rosulullah, seakan-akan matahari berjalan di wajah beliau. Saya tidak melihat orang yang lebih cepat jalannya dari Rosulullah, seakan-akan bemi tertekuk bagi beliau. Sehingga ketika kami berusaha mengejar ritme berjalan beliau, kami melakukannya dengan cukup sulit. Padahal beliau berjalan dengan tenang tanpa kesulitan."
Kaum muslimin jamaah sholat jumat yang dimuliakan Allah.
Karakteristik kemuliaan yang kedua bagi orang beriman adalah: Mereka adalah orang-orang yang tersibukkan malam-malam mereka dengan sujud kepada Zat yang Maha Mulia. Mereka terjaga di tengah malam ketika manusia tidur. Mereka sujud dan berdiri mengerahkan hati mereka ke Arsy Ar-Rahman yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Allah SWT berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا ( الإسراء: 79 )
"Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang mulia". (Al-Isra : 79)
Orang-orang yang mulia tak pernah mengharapkan kemuliaan dari manusia, karena sumber kemuliaan adalah dari Allah semata.
Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.
Karakteristik ketiga adalah: Kesederhanaan dan keseimbangan dalam kehidupan mereka. Hal ini diungkapkan oleh Al-Quran sebagaimana firman Allah:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (الفرقان: 67 )
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (Al-Furqon: 67)
Ini adalah sifat islam yang diwujudkan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Juga menjadi arah pendidikan dan hukum islam yang dibangun atas dasar keseimbangan dan keadilan.
Seorang muslim tidaklah bebas mutlak dalam menginfakkan dan membelanjakan harta pribadinya sekehendak hatinya seperti yang terdapat dalam system kapitalis, dan pada bangsa-bangsa yang hidupnya tak diatur oleh hukum ilahi dalam semua bidang. Namun penggunaan uang itu terikat dengan aturan menyeimbangkan antara dua perkara yaitu antara sikap berlebihan dalam menginfakkan dan terlalu menahan. Karena sikap berlebihan atau terlalu menahan harta menghasilkan ketidak seimbangan di tengah masyarakat dan bidang ekonomi. Menahan harta menimbulkan masalah-masalah, demikian juga melepaskannya tanpa kendali. Padahal harta itu adalah alat sosial untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan sosial.
Sementara Islam mengatur segi kehidupan ini dengan memulainya dari jiwa individu. Sehingga, menjadikan keseimbangan itu sebagai satu karakter dari karakter-karakter keimanan. Allah berfirman:
وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
"… dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (Al-Furqon: 67)
Kaum muslimin rahimakumullah
Karakter yang ke empat adalah: Orang-orang yang mulia senantiasa menjaga kemurnian tauhid di dalam dadanya, menjaga kehormatan orang lain dan menjaga dirinya dari perbuatan dosa-dosa besar. Hal ini digambarkan oleh Allah dalam firmannya:
وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
"Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)". (Al-Furqon: 68)
Mentauhidkan Allah adalah pondasi akidah islamiyah. Menghindarkan diri dari menganiyaya orang lain, membunuh manusia tanpa hak adalah persimpangan jalan antara kehidupan sosial yang tenang yang padanya kehidupan manusia dihormati dan dihargai dengan kehidupan hutan yang padanya seorang tak merasa aman terhadapan nyawanya. Adapun mencegah diri dari perbuatan zina merupakan persimpangan jalan antara kehidupan yang bersih yang padanya manusia merasakan peningkatan dirinya dari perasaan hewani yang hitam pekat.
Karena ketiga sifat ini menjadi persimpangan jalan antara kehidupan yang pantas bagi manusia yang mulia di mata Allah dengan kehidupan yang murah dan rendah hingga ke tingkatan hewan. Maka Allah menyebutnya dalam karakter-karakter para hamba Allah. Mereka adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah.
Kaum muslimin jamaah sholat jumat yang dimuliakan Allah
Diantara karakter kemuliaan yang digambarkan Al-Quran terhadap hamba beriman adalah: Mereka tidak memberi kesaksian palsu maupun ucapan dusta dan tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak berfaedah. Karena orang yang beriman mempunyai urusan tersendiri yang menyibukkannya dari kelalaian, hura-hura dan berbicara kosong. Orang-orang beriman tak memiliki waktu kosong untuk bermain-main yang tak berarti, karena ia disibukkan dengan tuntutan keimanannya, dakwahnya dan beban-beban tugasnya yang ia tanggung. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Al-Furqon: 72)
Jamaah sholat jumat yang berbahagia
Orang-orang yang mulia juga adalah orang-orang yang segera sadar ketika diingatkan dan mudah mengambil pelajaran jika diberi nasehat, terbuka hatinya untuk menerima ayat-ayat Allah yang mereka terima dengan pemahaman dan mengambil pelajaran. Sehingga, mereka mengimaninya dengan keimanan yang penuh dengan kesadaran, bukan fanatisme buta dan tidak menenggelamkan wajah! Jika mereka bersemangat membela aqidah mereka, membela agama mereka, membela saudara seiman mereka, maka hal itu mereka lakukan dengan sikap semangat seorang yang mengetahui, penuh kesadaran dan hati terbuka. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا
"Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta." (Al-Furqon:73)
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah
Karakteristik yang terakhir digambar oleh Al-Quran melalui firman Allah:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (74)
"Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqon: 74)
Ini adalah perasaan fitrah keimanan yang mendalam. Perasaan senang untuk menambah bilangan orang-orang yang berjalan di jalan Allah. Tidak cukup kesholihahan adalah milik pribadi, orang-orang yang beriman juga selalu menyenandungkan doa-doa untuk menambah jumlah orang-orang menyembah Allah. Dan yang pertama adalah keturunan dan pasangan mereka . Karena mereka itu adalah orang-orang yang terdekat dengan mereka, mereka itu adalah amanah yang paling pertama yang akan ditanyakan kepada mereka.
Mereka juga berkeinginan agar orang-orang beriman merasakan bahwa ia menjadi teladan bagi kebaikan, dan dijadikan contoh oleh orang-orang yang ingin menuju Allah. Dalam hal ini, tidak ada indikasi kesombongan atau merasa hebat karena suluruh rombongan berada dalam perjalanan menuju Allah. Itulah hamba-hamba Allah yang maha penyayang, yang akan mendapat kemuliaan sesungguhnya berupa surga di sisi Allah.
أَقُولُ قَوْلِي هَذَا وأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحيمُ.
Oleh: H. Zulhamdi, Lc
Tulisan ini dapat dibaca di web ikadi: www.ikadi.or.id
Labels: Khutbah, Perjalanan
----------
Magic of Thinking.
-TSALIIM-
Science Bolger’s Association