Rosulullah merupakan suritauladan bagi umatnya, begitu juga dalam hal menikah. Rosulullah banyak menikahi istri-istrinya pada masa periode dakwah di Madinah. Ia hanya menikahi Khodijah ketika pada masa periode dakwah di Mekah sampai Khodijah meningal dunia, setelah wafatnya Khodijah, Rosulullah menikahi Saudah binti Zum’ah rodhiyallahu anha.

Adapun Aisyah adalah wanita pertama yang dinikahi Rosulullah pada masa dakwah Rosulullah di Madinah. Kemudian Rosulullah menikahi Hafshoh, lalu Zainab binti Khuzaimah, lalu Ummu Salamah Hindun binti Abi Umayyah, lalu Zainab binti Jahsyi, kemudian Juwairiyah binti Al-Harist, kemudian Ummu Habibah Romlah binti Abu Sufyan, kemudian Sofiyah binti Huyyi bin Akhtob, kemudian Maimunah binti Al-Harist Al-Hilaliyah

Pakaian Jiwa

Pemandangan ketelanjangan dan terbukanya aurat pernah terjadi ribuan tahun lalu, saat Adam dan Hawa memakan buah di surga, namun mereka segera menutupinya dengan daun-daun surga. Pemandangan itupun pernah dilakukan oleh masyarakat jahiliyah dalam ritual ibadah yang mereka anggap peninggalan nenek moyang yang perlu dilestarikan saat thowaf mengelilingi ka'bah. Saat ini pemandangan ketelanjangan pun banyak terjadi, namun dengan banyaknya pabrik pakaian belum mampu menutupi keterbukaan aurat yang sengaja diobral murah.

Dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani, berbagai macam cara yang ditempuh oleh manusia untuk mencari sesuatu yang dapat melegahkan jiwanya, mencari kemuliaan di tengah-tengah manusia. Bebagai cara dilakukan, baik dengan cara yang terhormat ataupun bukan, yang sesuai dengan tuntunan syariat ataupun bukan. Bahkan kadang tak memperdulikan nilai-nilai norma dalam agama dan masyarakat. Ketika kebutuhan jiwa terpenuhi, perasaan bahagiapun tersegarkan, kemudian merasa bangga dan mulia. Namun kadang kala kebanyakan orang melupakan hakikat dan karakteristik kemuliaan yang sebenarnya yang Allah SWT gambarkan di dalam Al-Quran.

Sudah berlalu ribuan tahun kisah mencekam ini berlalu, namun nafas kita akan tertahan tatkalah mengikuti perjalanan kisah ini, seakan-akan kita menyaksikan sendiri peristiwa sejarah ini. Masih terbayang kisah subuh di situ gintung yang menghanyutkan semua harta benda, meninggalkan kedukaan atas mereka yang terbawa arus air deras.

Kisah ini lebih mencekam, yaitu saat kapal yang membawa Nabi Nuh dan orang-orang beriman ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Kengerian pada alam yang membisu dan ketakutan di dalam jiwa menjadi satu. Dalam suasana itu terjadi dialog yang diabadikan Al-Quran antara sang ayah dan anak kandungnya. Tawaran sang ayah ditolak lantaran sang anak percaya akan selamat dengan mencari perlindungan di gunung yang tinggi.

;;